Ilham;
Radilla Rizqia; Irfan Maulana
Ketika umat manusia memasuki era industrialisasi (pertama
kali di Inggris pada abad ke-19), maka segera timbul pertanyaan besar: siapa
yang akan memberi makan orang-orang yang tidak bekerja di pertanian? Selama
berabad-abad orang bekerja di ladang dan memungut hasilnya untuk kebutuhan
hidupnya. Spesialisasi sebagaimana dituntut dalam dunia industri, menghasilkan
kelompok manusia yang tidak bercocok tanam, dan jumlah ini makin lama makin
besar, makin besar. Bagaimana memberi makan orang sebanyak ini? Apalagi
penduduk dunia terus meningkat?
Jawabannya jelas: pertanian harus diintensifkan dan
dikerjakan oleh semakin sedikit orang. Kalau pada masa lampau, sebidang tanah
hanya membawa hasil dalam jumlah tertentu, maka pada masa sekarang sebidang
tanah yang sama harus bisa menghasilkan lebih banyak. Salah satu eksperimen
adalah dengan menghimpun tanah milik petani, lalu para petani menggarap
bersama-sama. Hasilnya sebagian dinikmati sendiri dan sebagian lain disetorkan
ke kota-kota. Ini eksperimen yang disebut “komune” yang pernah ada di Cina.
Eksperimen lain adalah dengan memakai teknologi sehingga tanah dengan luas yang
sama memberi hasil yang berlipat-lipat. Inilah yang disebut “Green
Revolution” atau “Revolusi Hijau,” yang dimulai di Mexico pada 1943
disponsori oleh Rockefeller Foundation dan Ford Foundation, keduanya yayasan
yang berasal dari Amerika Serikat.
Dua eksperimen ini telah mendapat kritik tajam. Eksperimen
komune telah berakhir di Cina, dianggap gagal, padahal sistem komune dulu
dipandang sebagai tandingan terhadap Revolusi Hijau. Indonesia tidak memilih
sistem komune, tentu saja, tapi selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru ikut
dalam gemuruh Revolusi Hijau. Pada intinya Revolusi Hijau – yang mengandalkan
teknologi benih, pupuk dan pestisida – berusaha melipatgandakan hasil pertanian
sehingga tersedia cukup makanan baik bagi negara yang bersangkutan maupun bagi
negara lain di seluruh dunia. Banyak negara di Selatan pada tahun 1960-an yang
terbuai oleh mimpi yang ditawarkan oleh Revolusi Hijau. Laporan yang dibuat
oleh organisasi-organisasi internasional juga memperkuat mimpi itu, sampai
akhirnya orang menyadari bahwa Revolusi Hijau benar-benar sebuah mimpi.
Kritik terhadap “Revolusi Hijau” ada amat banyak, baik dari
sisi teknologi, ekonomi, politik, ekologi, maupun kultural. Revolusi Hijau
memang mengandalkan teknologi semata-mata untuk meningkatkan produksi pangan.
Seperti telah disebutkan di atas, teknologi yang dikembangkan itu mencakup
membuat benih, membuat pupuk, dan membuat pestisida. Bukan hal yang baru bahwa
teknologi menimbulkan efek negatif. Karena dipakai benih hibrida, hilanglah
“keragaman petani.” Kecuali itu para petani tergantung pada pestisida, pupuk,
bensin dan mesin. Akibatnya biaya untuk pertanian meningkat. Tanah dikuasai
oleh segelintir petani, sebagian besar petani lain menjadi buruh tani atau ke
luar dari desa mereka. Sumber air terkuras, sementara irigasi menimbulkan
salinitas sehingga tanah dalam jumlah besar tidak dapat dipakai lagi. Air,
tanah dan kesehatan dirusak oleh pupuk dan pestisida. Yang tidak terduga itu
hama dan penyakit bukannya berkurang malah bertambah.
Dengan Revolusi Hijau ini pertanian di negara Selatan
sebenarnya sudah tersedot masuk dalam globalisasi. Ketika petani memutuskan
untuk memakai benih padi unggul (high-response varieties – HRVs),
misalnya, ia sudah langsung mengikat diri untuk pemakaian pupuk tertentu,
pestisida tertendu karena benih-benih itu tidak mudah beradaptasi dengan sawah
mereka. Nah, siapa penghasil benih, pupuk dan pestisida ini? Di sini masuklah
korporasi multinasional yang memiliki laboratorium riset (R&D) yang
canggih, sistem pemasaran yang sistematis, serta sistem lobi yang ekstensif.
Beberapa yang terbesar dapat disebutkan di sini: Monsanto, Kellog, Cargill,
Heinz, dsb.
Dalam seluruh proses globalisasi pertanian ini, sangat dan
amat menarik bagaimana diskusi untuk menyediakan pangan bagi dunia bergeser:
semula setiap negara bertanggungjawab atas ketahanan pangannya masing-masing,
kini petani harus bertanggungjawab atas ketersediaan pangan seluruh dunia.
Gagasan inilah yang menjadi asumsi perdagangan bebas di bidang pertanian yang
dikampanyekan oleh WTO, dan didukung oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang,
dan Kanada. Ekspor pangan harus digenjot, tidak boleh dihambat oleh negara,
sehingga tersedialah pangan di seluruh dunia. Aliran komoditas pertanian harus
bebas. Sejauh menyangkut korporasi, dikatakan juga bahwa semakin korporasi pangan
itu menjadi efisien, semakin korporasi mampu menghasilkan pangan.
Namun petani-petani di empat wilayah dunia, walaupun
berjumlah sedikit, berhasil menciptakan lobi yang amat tangguh di negara mereka
masing-masing. Mereka mendukung penurunan tariff, tetapi mereka tetap menuntut
subsidi pertanian yang tinggi. Studi yang dilakukan oleh Cato Institute pada
2005 menunjukkan bahwa petani di negara-negara maju (yang tergabung dalam
OECD), menerima subsidi sebesar US$ 279 milyar atau sekitar 30 persen pendapatan
dari pertanian seluruhnya. Petani Amerika Serikat menerima US$ 46,5 milyar dari
pemerintahnya atau sekitar 18 persen dari pendapatn pertanian total Amerika.
Masih di Amerika Serikat, setiap keluarga petani mendapat US$ 79.961, atau 26
persen lebih tinggi dari pendapatan rata-rata nasional. Yang tak kalah
mengejutkan, dua pertiga dari subsidi itu dibagi-bagi kepada 10 persen petani
terkaya. (Daniella Markheim dan Brian M. Riedl, http://www.heritage.org/RESEARCH/BUDGET/wm1337.cfm)
Ini sebabnya perundingan WTO macet sampai sekarang!
Negara-negara Selatan mati-matian berjuang menuntut diturunkannya subsidi di
negara-negara Utara, yang bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas.
Sementara itu pertanian di negara-negara Selatan tetaplah terpuruk dalam roda globalisasi:
benih, pestisida, pupuk harus dibeli dari MNC. Sekalipun petani tidak kuat
beli input ini, negara dilarang memberi subsidi sebagaimana
tercantum dalam conditionalities yang ditetapkan oleh IMF.
Indonesia sedang mengalami ini semua. Petani-petani yang tidak kuat bersaing
dengan impor produk pertanian yang murah, tidak ada jalan lain kecuali mereka
berhenti menjadi petani dan alih profesi.
Apakah dengan demikian kekurangan pangan yang melanda dunia
saat ini telah diatasi? Ternyata masalah sekarang ini bukan pada rendahnya
produksi pangan, tetapi pada “maldistribution” pangan. Bahan
makanan tersedia, kendati dengan segal efek negatifnya, tetapi menumpuk di
beberapa kantong-kantong dunia. Mayoritas penduduk negara-negara Selatan yang
miskin tetap tidak mampu membeli makanan yang diimpor, seandainya mampu, mereka
membeli makanan dengan kualitas amat rendah. Untuk memproduksi sendiri mereka
tidak sanggup karena tingginya harga input pertanian. Dengan
demikian kelaparan tetap menghantui dunia, kendati seluruh janji kampanye
globalisasi.
comment 0 komentar
more_vert