MASIGNASUKAv101
1722619076852864293

HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA : Masalah dan Alternatif Solusinya

HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA : Masalah dan Alternatif Solusinya
Add Comments
Monday, March 5, 2018


HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA : Masalah dan Alternatif Solusinya

Oleh :
Ilham

Selama tiga dekade (1966-1996), perekonomian Indonesia tumbuh lebih dari 5 persen setahun. Prestasi yang bersifat spektakuler dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang yang hanya sebesar 2.4 persen setahun pada periode terse but menempatkan
Indonesia ke dalarn kelompok pilihan perekonomian Asia yang berkinerja tinggi (high performing Asian economies) yang dicirikan adanya pertumbuhan yang cepat dan ketidakmerataan pendapatan yang menurun. Pertumbuhan yang mengesankan tersebut diakibatkan oleh adanya berbagai instrumen kebijakan yang konsisten selama periode tersebut, yang antara lain adalah (1) kebijaksanaan anggaran berimbang pacta tingkat  nasional maupun tingkat daerah, (2) kebijakan pengendalian tingkat inflasi  yang relatif stabil sepanjang periode tersebut, (3) kebijaksanaan sistem devisa bebas disertai dengan pengelolaan yang sangat hati-hati terhadap defisit neraca transaksi berjalan, dan (4) terus masuknya hutang luar negeri dengan persyaratan lunak dan tingkat suku bunga yang rendah.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 merubah keberuntungan Indonesia secara dramatis. Krisis ekonomi ditandai oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar dan disusul dengan kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok. Walaupun perekonomian Indonesia telah empat tahun terjerat dalam krisis ekonmi, namun silang pendapat tentang penyebab dan akibat krisis ekonomi bagi perekonomian Indonesia masih tetap diperdebatkan (Daryanto 2000). Salah satu alasan penyebab timbulnya krisis ekonomi yang diyakini oleh banyak ahli ekonomi adalah strategi pembangunan ekonomi di masa lalu yang terlalu mengandalkan hutang luar negeri. Hanya saja perlu dicatat bahwa sebelum krisis tampaknya Indonesia tidak dianggap mempunyai masalah dalam creditworthiness yang tercermin dari makin meningkatnya hutang luar  negeri. Oleh karena itu banyak pihak yang berpendapat bahwa hutang  luar negeri ini diibaratkan sebagai pedang bermata dua.

Tulisan ini berupaya untuk mengkaji hutang luar negeri dari berbagai sisi dan keterkaitannya dengan faktor-faktor  lain. Tulisan ini diawali dengan diskusi tentang konsep dan kritik atas hutang luar negeri, kemudian dilanjutkan dengan diskusi ten tang hutang luar negeri Indonesia dan masalahnya. Setelah itu akan didiskusikan tentang altematif solusi hutang luar negeri Indonesia.

KONSEP DAN KRITIK IRJTANG LUAR NEGERI
Pembangunan ekonomi suatu negara berkembang membutuhkan dana yang relatif besar. Namun demikian, usaha pengerahan dana untuk membiayai pembangunan menghadapi kendala. Pokok persoalan dalam pengerahan dana tersebut adalah adanya kesulitan dalam pembentukan modal baik yang bersumber dari penerimaan pemeritah yang berasal dari ekspor barang ke luar negeri maupun dari masyarakat melalui instrumen pajak dan instrument lembaga­lembaga keuangan.

Usaha pengerahan modal dari masyarakat dapat berupa pengerahan modal dari dalam negeri dan pengerahan modal yang bersumber dari luar negeri. Pengerahan model yang bersumber dari dalam negeri berasal dari 3 (tiga) sumber utama, yaitu: tabungan sukarela masyarakat, tabungan pemerintah dan tabungan paksa (forced saving). Mengingat kebutuhan dana pembangunan yang berasal dari dalam negeri tidak cukup tersedia, maka kekurangannya hams dipenuhi dari luar negeri.

Ditinjau dari sudut manfaatnya, hutang luar negeri (bantuan luar negeri) mempunyai 2 (dua) peranan, yaitu: (a) untuk mengatasi masalah kekurangan mata uang asing, dan (b) untuk mengatasi masalah kekurangan tabungan. Kedua masalah terse but biasa disebut dengan masalah
kesenjangan ganda (the two gap problems), yaitu kesenjangan tabungan (saving gap) dan kesenjangan mata uang asing (foreign exchange gap).

Kebijaksanaan pembangunan yang mengandalkan hutang luar negeri masih dianut oleh banyak negara berkembang. Hutang luar negeri diandalkan untuk memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonorni antara lain dengan jalan meningkatkan produksi, meningkatkan ekspor, memperluas kesempatan kerja, memperbaiki neraca pembayaran, meningkatkan pengetahuan dan teknologi dan meningkatkan mobilisasi sumberdaya. Namun dernikian, hutang luar negeri tidak hanya didasarkan atas manfaatat au pertimbangan ekonomi, melainkan juga atas pertimbangan politik, sosial, budaya, kemanusiaan dan lainnya. Oleh karena itu, peranan hutang luar negeri di negara berkembang banyak diperdebatkan oleh ahli ekonomi, pembangunan, sosial, politik dan lainnya. Banyak ahli ekonomi  yang mendukung perlunya hutang luar negeri karena memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, akan tetapi tidak sedikit yang berpendapat sebaliknya. Banyak ahli berpendapat bahwa apabila suatu negara mempunyai profil hu tang yang wajar atau yang diinginkan (a desirable debt profile), maka negara tersebut tidak perlu mengkhawatirkan eksistensi hutang sebagai salah satu pendukung keberhasilan pembangunan nasional. Jikajurnlah hutang tidak terlalu besar, hal ini tidak akan mengancam kestabilan makroekonomi suatu negara. Williamson (1999) berpendapat bahwa profil hutang yang wajar oleh suatu negara mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) jurnlah hutang tidak boleh melebihi 40 persen GNP, (2) jurnlah hutang tidak boleh melebihi 200 persen jurnlah ekspor suatu negara, dan (3) DSR (debt service ratio), yang menunjukkan ratio jurnlah hutang terhadap ekspor, tidak boleh lebih dari 25 persen. Jika jumlah hutang melebihi kondisi yang ditentukan dalam profil hutang yang wajar, maka eksistensi hutang dapat dianggap sebagai ancaman yang dapat menyebabkan krisis ekonomi suatu negara.

Beberapa ahli yang tidak setuju dengan peranan positif eksistensi hutang dalam perekonomian di negara-negera berkembang antara lain Rostow (1985), Tanzi dan Blejer (1988) dan George (1992). Mereka mengatakan bahwa hutang luar negeri justru menjadi bumerang bagi negara penerima. Perekonomian negara-negara penerima tidak  semakin baik, melainkan semakin hancur. Beberapa alasan yang menyebabkan kegagalan dalam menggunakan dana pinjaman untuk pembangunan ekonomi negara berkembang antara lain adalah (1) ketidakmampuan negara
penerima memanfaatkan hutang secara efektif, (2) hutang luar negeri lebih bermotifkan politik dibandingkan ekonomi, (3) hutang yang diterima dikorupsi oleh pejabat negara berkembang, dan (4) tidak bekerjanya mekanisme pasar akibat kegagalan pasar (market failure) seperti monopoli  dan oligopoli.

PERKEMBANGAN DAN MASALAH HUTANG LUAR NEGERI
Indonesia menggunakan hutang luar negeri untuk mempercepat pembangunan ekonominya. Hutang luar negeri dimasukkan sebagai penerimaan pemerintah dalam APBN setiap tahunnya. Sumber pinjarnan Indonesia selama ini berasal dari negara-negara dan badan-badan bantuan multilateral yang tergabung dalam Consultative Group for Indonesia 2) atau CGI (sebelurnnya Inter Governmental Group on Indonesia, IOGI). Dengan tingkat suku bunga yang rendah, tenggang waktu (grace period) dan masa pembayaran cicilan pokok dan bunganya yang cukup panjang, maka pinjaman dari COl merupakan sumber pembiayaan utama.  Meskipun hutang luar negeri menjadi komponen yang penting dalam struktur pembiayaan pembangunan, namun dalam menjalankan kebijaksanaannya, pinjaman dana yang berasal dari luar negeri tersebut didasarkan pada beberapa kriteria pokok yang tujuannya untuk menyelaraskan antara kebutuhan akan pinjaman dana luar negeri dengan politik  luar negeri yang bebas aktif, sebagaimana telah digariskan dalam GBHN. Selain itu, efisiensi dan efektifitas penggunaan dana menjadi pertimbangan utama, sehingga kriteria pokok tersebut diarahkan pada tiga hal, yaitu: (1) bantuan luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan politik, (2) syarat-syarat pembayaran hams dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali, dan (3) penggunaan bantuan luar negeri haruslah untuk pembiayaan proyek­proyek produktif dan bermanfaat.  Namun kenyataannya, ketergantungan Indonesia akan hutang luar negeri semakin besar sehingga menjadi suatu "keharusan". Terus masuknya hutang luar negeri dengan persyaratan lunak dan tingkat suku bunga yang rendah melalui konsorsium IOGI dan COl merupakan instrument kebijaksanaan yang konstan sejak awal Pemerintahan Orde Baru. Sebagai akibat dari kemerosotan ekonomi Orde Lama dan menutup defisit anggaran pembangunan, Pemerintah Orde Baru memerlukan pinjaman luar negeri untuk program stabilisasi dan rehabilitasi perekonomian nasional. Dalam sidang pertama pada tahun 1967, IGGI memutuskan memberikan bantuan sebesar US$ 200 juta. Jumlah tersebut sesuai dengan persyaratan yang diinginkan oleh Indonesia yaitu persyaratan lunak, masa pembayaran 25 tahun dan tenggang waktu 7 tahun, dan tingkat suku bunga 3 persen per tahun. Sejak itu hutang luar negeri terus meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun anggaran 1998 dan 1999, saat terjadinya krisis ekonomi. Alasan mendasar dibutuhkannya hutang luar negeri adalah karena tabungan domestik tidak mencukupi, yang menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk memobilisasi dana domestik tidak pernah mengimbangi besarnya kebutuhan dana untuk investasi. Kesenjangan an tara tabungan dalam negeri baik pemerintah dan swasta menyebabkan hutang luar negeri dan PMA merupakan suatu "keharusan" bagi pembiayaan investasi. Pada mulanya, kebijaksanaan hutang luar negeri hanya untuk sektor publik. Hutang luar negeri BUMN tercatat dimulai tahun 1975, enam tahun setelah pemerintah mulai berhutang. Meskipun hutang luar negeri BUMN meningkat dari tahun ke tahun, namun peningkatan hutang BUMN tidaklah secepat perilaku pemerintah dalam berhutang. Swasta tercatat mulai berhutang ke luar negeri sejak tahun 1981. Pada tahun 1997, hanya dalam tempo 17 tahun, hutang  swasta sebesar US$ 78,228 milyar sudah jauh lebih besar daripada hutang pemerintah sebesar US$ 53,865 milyar yang sudah berhutang selama 29 tahun (Rachbini 2(01). Data paling akhir terakhir menunjukkan bahwa posisi hutang luar negeri Indonesia hingga akhir April 2001 mencapai US$ 139, 1 milyar, yang te~diri dari US$ 72,2 milyar (51.49 persen) hutang pemerintah dan selebibnya hutang swasta (Iljas, 2(01).

Tingginya tingkat suku bunga di dalam negeri mendorong para investor swasta untuk mencari dana dari luar negeri yang dianggap murah. Seiring dengan diberlakukannya liberalisasi keuangan dan perbankan, besarnya hutang swasta semakin membesar. Dalam melakukan peminjaman dana dari luar negeri terbukti di kemudian hari bahwa investor swasta tidak mempertimbangkan fundamental makroekonomi yang sesungguhnya telah memberi isyarat kurang baik, seperti misalnya defisit transaksi betjalan yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Kemungkinan munculnya ancaman dari luar (external shocks) seperti perubahan nilai tukar juga tidak disadari sejak awal oleh kalangan investor swasta. Disamping itu, karena tidak adanya monitoring yang sistematis dalam sistem devisa bebas, maka besarnya hutang swasta tidak dapat diketahui secara akurat.  Dana yang dipinjam oleh pihak swasta pada umumnya menggunakan tingkat bunga komersial dan jangka waktu yang relatif pendek. Dengan total hutang sebesar US$ 110,177 milyar pada akhir tabun 1996/1997 dimana 46,41 persen diantaranya adalah hutang swasta, maka dapatlah dimengerti sepenuhnya bahwa goncangan ekstemal yang berupa depresiasi nilai tukar pada pertengahan 1997 yang lalu memieu krisis ekonomi. Berdasarkan data Bank Indonesia (1997), pada waktu itu cadangan resmi yang dimiliki oleh pemerintah hanya mencapai sekitar US$ 20 milyar.

Perkembangan hutang yang terus menerus mengakibatkan tetjadinya pertumbuhan ekonomi yang dipacu oleh hutang luar negeri (debt-led growth) atau masuk ke perangkap hutang (debt trap), sehingga jika dibiarkan akan menimbulkan krisis hutang. Beberapa indikator menunjukkan bahwa Indonesia telah masuk ke perangkap hutang. Sebelum krisis, bulan Maret 1996, beban hutang sebesar 30 persen dari GDP. Kini setelah krisis beban hutang malahan melonjak menjadi 128 persen GDP.  Angka debt service ratio (DSR), yang merupakan rasio pembayaran bunga dan
deilan hutang luar negeri yang jatuh tempo terhadap ekspor, juga tergolong sangat tinggi.  Pada tahun anggaran 1994/95, DSR nasional (pemerintah dan swasta) sebesar 32,6, sementara itu DSR pemerintah sebesar 17,7. Angka DSR nasional meningkat sebesar 58,7 pada tahun 1998 dan menurun kembali menjadi 51,9 padatabun 1999. Dengan angka DSR yang lebih dari 50 persen, maka sungguh terlalu besar pengorbanan ekspor untuk membayar hutang luar negeri. Angka DSR ini merupakan lampu merah, karena idealnya beban hutang harus di bawah 25 persen kemampuan ekspor nasional.  Dari berbagai studi tentang hutang Indonesia yang telah dilakukan, banyak bukti empiris yang bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan pemerintah dan swasta untuk mengurangi ketergantungan pembangunan ekonomi Indonesia terhadap hutang luar negeri. Studi yang dilakukan oleh Arief dan Sasono (1987) menghasilkan kesimpulan bahwa selama periode 1970-1986, arus bersih modal asing yang masuk ke Indonesia yang terdiri dari investasi modal asing dan hutang luar negeri, setelah memperhitungkan pembayaran eicilan bunganya dan keuntungan yang ditransfer pihak asing ke luar negeri menunjukkan nilai kumulatif yang negatif. Artinya bahwa hutang luar negeri selama periode tersebut menyebabkan Indonesia menjadi eksportir modal ke negara donor. Disamping itu, studi mereka menunjukkan bahwa hutang luar negeri ternyata tidak mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak akhir tahun 1970 selalu positif serta tingkat pendapatan per kapita dan jurnlah  hutang luar negeri Indonesia meningkat terus setiap tahun. Hal ini menandakan adanya korelasi yang positif antara keberhasilan pembangunan ekonomi pada tataran makro atau peningkatan pendapatan rata-rata per kapita dan peningkatan jumlah hutang luar negeri (growth with indebtedness); idealnya korelasi tersebut seharusnya  negative (growth with prosperity).  Ketidakefektifan hutang luar negeri sebagai pemacu pembangunan ekonomi nasional disebabkan beberapa faktor. Pertama, hutang luar negeri tidak dialirkan ke kegiatan produktif yang bersifat cepat menghasilkan  (quick yielding) atau menghasilkan produk-produk yang bisa diekspor. Kedua, hutang luar negeri dikorupsi oleh para pejabat dan kroni-kroninya. Pinjaman yang dikorup sekitar 30 persen. Ketiga, pemerintah Indonesia tidak mampu memanfaatkan hutang luar negeri secara tepat dan efektif. Prioritas pembangunan ekonomi kurang tajam dan  tidak terfokus. Karena itu, penggunaan dan pinjaman luar negeri tidak berdampak secara signifikan pada perbaikan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, penurunan tingkat kemiskinan dan perbaikan kualitas hidup. Keempat, adanya moral hazard para penguasa sehingga tidak ada dorongan yang kuat untuk melunasi hutang-hutang yang ada dan malah cenderung memperbesarnya. Kelima, belum adanya penegakan hukum yang kuat turut mempersubur penyalahgunaan dan kebocoran dalam pengelolaan pinjaman luar negeri.

SOLUSI ATAS HUTANG LUAR NEGERI
Beberapa skema tengah dipertimbangkan dan bahkan telah didiskusikan oleh Pemerintah Indonesia dengan negara­negara kreditur dan IMF untuk menyelesaikan persoalan hutang luar negeri. Pertama, Pemerintah Indonesia telah meminta untuk melakukan penjadwalan hutang. Namun  demikian, Pemerintah Indonesia tidak bisa sepenuhnya  mendapatkan keringanan karena menurut ketentuan IMF, penundaan pembayaran cicilan dan bunga akan menimbulkan implikasi moratorium. Hal ini berarti bahwa Indonesia bisa terkena default dan akan sulit menerima kredit bam. Dalam kasus penjadwalan hutang ini, Indonesia boleh menunda pembayaran cicilan pokok pinjaman, namun tetap membayar bunga pinjaman.  Kedua, Indonesia telah mengusulkan skema pengurangan  hutang (debt reduction) seperti yang pernah ditempuh oleh Afrika Selatan pada tahun 1982 dan pernah seCara intensif dikampanyekan oleh Pemerintah Filipina sejak tahun 1990-an. Skema pengurangan hutang ini diajukan berdasarkan alasan bahwa Pemerintah yang sekarang tidak harus menanggung beban hutang yang dikorupsi oleh Pemerintah Orde Bam. Skema semacam ini disebut sebagai Skema odious debt atau hutang yang "menjijikkan". Hanya
saja hingga saat ini upaya ini agak sulit diterima oleh negara kreditor karena mereka beranggapan bahwa masalah korupsi hutang luar negeri adalah masalah internal Indonesia. Namun demikian cara ini perlu terus dikampanyekan Pemerintah. Perkembangan yang menarik adalah ada sejurnlah kreditor internasional yang tengah mempertimbangkan pemberian pengampunan (debt forgiveness atau hair cut) terhadap sebagian hutang luar negeri Indonesia. Jumlah yang layak diampuni sekitar sepertiga dari hutang luar negeri yang menurut Bank Dunia
telah dikorup oleh rezim pemerintahan Soeharto.  Ketiga, skema pengampunan hutang (debt forgiveness)  dan penundaan hutang (debt cancellation) tampakoya sulit diterima oleh negara-negara kreditur. Di masa lalu,  ketika tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat cepat, agak janggal untuk meminta penundaan dan pengampunan hutang, karena semua lembaga keuangan internasional mempunyai keyakinan bahwa ekonomi Indonesia begitu baik dan tidak ada alasan untuk melakukan penundaan pembayaran. Jika cara ini ditempuh dikhawatirkan negara-negara kreditur tidak akan memberikan pinjaman bam kepada Indonesia dan skema ini bisa merusak citra Indonesia di mata intemasional dan seCara ekonomi dan politik bisa berakibat fatal. Hanya saja, sekarang keadaannya sangat bedainan, karena kita sudah terpuruk dan sudah mendapat bantuan khusus dari IMF dan berbagai lembaga keuangan internasional untuk menopang perekonomian kita. Oleh karena itu, upaya pengampunan hutang perlu terus diupayakan untuk meringankan beban hutang Indonesia yang sangat besar.  Karena skema-skema penjadwalan hutang luar negeri yang diupayakan Indonesia di atas belum sepenuhnya berhasil, maka pedu dilakukan berbagai upaya misalnya pembelian kembali hutang (debt buybacks), pengalihan hutang ke dalam obligasi (debt-for-equity swaps), pengalihan hutang untuk alam (debt-for-nature-swaps) atau pengalihan hutang untuk kemiskinan (debt-for-poverty-swaps).  Dengan debt buybacks, debitur secara lang sung membeli kembali hutang yang tidak bisa dibayar dengan harga diskon dari nilai mUkanya. Dengan debt1or-equity-swaps,  negara debitur menukarkan hutangnya ke matauang  domestik dengan harga diskon. Mata uang domestic ini dipergunakan kreditur untuk melakukan investasi di suatu perusahaan di negera debitur. Dengan debt-for-nature-swaps, suatu kelompok yang bergerak dalam bidang konservasi dapat membeli hutang yang tidak bisa dibayar, dan bunganya digunakan oleh Pemerintah perninjam untuk melindungi lingkungan. Dernikian juga halnya dengan debt­Jor-poverty-swaps, negara kreditur bisa membeli kembali hutang yang tidak bisa dibayar dengan harga diskon, dan dikembalikan kepada negara debitur dengan ketentuan bahwa dana tersebut  harus digunakan untuk menanggulangi masalah  kemiskinan.

Perkembangan yang menarik adalah usulan Kenen (1990) tentallg perlunya suatu perusahaan yang disebutnya sebagai International Debt Discount Corporation, yang didirikan atas biaya negara-negara maju, sebagai lembaga  yang menangani pertukaran atau pengalihan dengan harga diskon hutang-hutang negara berkembang yang berasal dari bank-bank komersial ke garansi obligasi jangka panjang. Sach (1990) juga mengusulkan perlunya suatu lembaga yang disebut sebagai International Debt Facility yang bertugas untuk mengurangi secara sistematis suku bunga hutang-hutang yang jatuh tempo di bawah  harga pasar. Hutang luar negeri merupakan salah satu faktor kritis dalam upaya pemulihan ekonorni Indonesia. Jika faktor ini tidak dapat diatasi, maka krisis berikutnya akan kembali mengancam. Kita bisa belajar pengalaman dari Meksiko. Hutang luar negeri terbukti telah menjerumuskan Meksiko ke jurang krisis ekonorni sampai dua kali (1984 dan 1995). Daripada Manajemen makroekonorni yang tidak ditangani dengan baik (sound macroeconomic management) merupakan penyebab utama mengapa negara seperti Meksiko terjerumus dalam krisis ekonorni sampai dua kali. Belajar dari pengalaman Meksiko ini, manajemen makro ekonorni perlu ditangani oleh pemerintah Indonesia dengan baik.

Kemampuan Indonesia sebagai negara berkembang untuk meningkatkan tabungan dalam negeri dan mengurangi jurang tabungan-investasi (saving-investment gap) hingga saat ini masih rendah sehingga untuk biaya pembangunan harus ditutupi dari pinjaman luar negeri. Prinsip anggaran berimbang yang dianut selama ini oleh Pemerintah Indonesia mempunyai konsekuensi bahwa defisit anggaran yang terjadi secara reguler ditutup dari hutang luar negeri. Peranan hutang luar negeri dikatakan ibarat pedang bermata dua. Banyak yang berpendapat bahwa hutang luar negeri diyakini berdatnpak positif bagi pembangunan. Namun demikian banyak juga yang berkeyakinan  bahwa jika suatu negara mempunyai profil hutang yang tidak wajar atau yang tidak diinginkan Gumlah hutang melebihi 40 persen GNP,jumlah hutang melebihi 200 persen ekspor dan DSR lebih dari 25 persen), kondisi seperti ini akan mengancam kestabilan makroekonomi negara tersebut.

Untuk memulihkan perekonornian Indonesia, hutang luar negeri tetap dibutuhkan dan sangat sulit mengehentikan  begitu saja. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah mengurangi hutang baru secara _ bertahap dan terus berupaya mencari solusi pengurangan, penghapusan dan penjadwalan kembali hutang Indonesia. Skema yang dapat dipertimbangkan adalah pembelian kembali hutang (buy back), pengalihan hutang dengan harga diskon ke dalam ekuitas, pengalihan hutang untuk lingkungan atau kemiskinan. Skema odious debt bisa saja terus diupayakan. Skema ini memungkinkan pemerintah baru tidak harus menanggung beban hutang yang dikorup oleh pemerintah  sebelumnya.  Penyelesaian masalah hutang luar negeri sangat membantu upaya menstabilkan perkembangan kurs rupiah yang merupakan faktor penting dalam membawa ekonomi Indonesia keluar dari krisis. Besarnya hutang luar negeri yang telahjatuh tempo terbukti telah memperparah tekanan­tekanan terhadap rupiah. Untuk itu, upaya-upaya menyelesaikan masalah hutang luar negeri swasta penting dilakukan. Kesepakatan Frankfrut pada bulan Juni 1998 merupakan salah satu wujud prakarsa penyelesaian masalah hutang yang mencakup penjadwalan kembali hutang perusahaan-perusahaan swasta, penundaan pembayaran hutang perbankan, dan penyediaan pembiayaan perdagangan (trade financing). Pembentukan Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) merupakan salah satu bagian dari kesepakatan Frankfurt.  Skema lain yang dapat ditempuh adalah pemerintah perlu mencari sumber-sumber penerimaan dalam negeri. Misalnya, meningkatkan sumber pendapatan dari dalam negeri, khususnya pajak. Peningkatan pajak dapat dilakukan dengan ekstensiflkasi dan intensiflkasi. Sampai saat ini rasio pajak (tax ratio) dan rasio obyek pajak  (coverage ratio) di Indonesia masih yang paling rendah diantara negara-negara ASEAN. Tax ratio Indonesia masih sekitar 11 persen. Thailand, Malaysia, Singapura masing­ masing mempunyai tax ratio sebesar 16.2 persen, 30.9 persen dan 20,3 persen. Oleh karena itu, peningkatan pajak mempunyai peluang yang sangat baik sebagai substitusi hutang luar negeri untuk mempersempit kesenjangan tabungan-investasi. Hanya saja perlu dihindarkan bahwa penarikan yang lebih intensif dan perluasan obyek pajak jangan sampai menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi (high cost economy) yang justru mendorong adanya disinvestasi dalam perekonomian kita.

Di masa yang akan datang, hutang luar negeri masih tetap diperlukan dan bermanfaat sepanjang hutang tersebutdikelola dengan baik dengan dukungan kebijaksanaan makroekonomi yang tepat dan baik. Pemanfaatan hutang harus juga selektif, dan diprioritaskan kepada sektor–sektor yang menciptakan efek ganda (multiplier effect) yang besar dalam pemulihan perekonomian nasional.

bangoprek

Halo Semuanya, Salam salim. Perkenalkan saya Bangoprek, bukan nama asli, nama aslinya sudah pada tahu kan? Oke mari kita lanjut kepoin template sederhana buatan saya.

Pekerjaan terbaik adalah mengerjakan hobimu sendiri.