KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan izinnya karya
tulis ini telah telah bisa diselesaikan yaitu yang berjudul “Peran Agama dalam Pemberantasan Korupsi melalui Pendidikan Anti Korupsi( PAK )di Lembaga
Pendidikan formal” Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjunan
kita Rosulullah SAW.
Penulis mengharapkan dengan
selesainya tugas makalah karya tulis ini ada yang bertambah dalam diri kami,
khususnya dan umumnya pada semua yang mempelajarinya, yaitu meningkatkan ilmu
pengetahuan kita sedikit bertambah, walaupun dalam kenyataan isi dari karya
tulis ini masih jauh ada dalam kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf yang
sebesar besarnya.
Harapan penulis karya tulis ini
bermanfaat khusus bagi penulis dan umumnya bagi semua yang membacanya, penulis menyadari
dari tehnik penyusunan dan penyajian karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penulis mohon maklum dan mohon kritik dan sarannya.
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Padahal, seperti
kata Samuel Huntington dalam Clash of Civilizations (1996) dan
Lawrence E Harrison dalam Culture
Matters (2000), budaya korupsi
adalah penyebab terjadinya
kemunduran dan keterbelakangan
suatu masyarakat. "Sebuah
bangsa akan hancur
ketika moralitasnya hancur". penyair Arab, Syauqi Beik.
Sejauh terkait
dengan nilai dan
moralitas, agama-agama memiliki hubungan dengan
korupsi, karena agama-agama
selalu bicara dimensi moral-spiritual.
Namun, tidak jelas
keterkaitan korupsi dan keberagamaan. Begitu banyak orang yang dianggap alim dan
saleh justru berbuat korupsi. Rajin
sembahyang tidak berkorelasi
positif dengan bersih dari korupsi. Penulis menganggap pendidikan Anti korupsi
di lembaga pendidikan formal adalah salah satu cara mengurangi perkembangan
korupsi di Indonesia
sehingga penulis mengambil judu karya ilmiah “Peran Agama dalam Pemberantasan
Korupsi melalui Pendidikan Anti Korupsi ( PAK ) dilembaga Pendidikan formal ”.
Karena menurut penulis pendidikan anti korupsi perlu digalakkan sejak dini.
Melalui
pendidikan Anti korupsi ( PAK ) agama memiliki peran penting dalam pembentukan
karakter seseorang seperti pepatah lama mengatakan “ bisa karena biasa”
begitupun dengan tindakan korupsi jika sejak dini kita diarahkan dan dilatih
untuk tidak korupsi tapi dilatih untuk jujur pada diri kita terlebih dahulu
masalah korupsi tidak akan semakin berkembang pesat seperti sekarang ini.
Salah
satu
sebab korupsi adalah pandangan
dunia sebagian masyarakat yang keliru,
yang dipengaruhi nilai-nilai agama dan budaya yang tidak
kondusif bagi kehidupan yang bersih. Bagi banyak orang, agama atau iman lebih sering membelenggu ketimbang
membebaskan. Agama cenderung
melangit, tidak membumi, mandul,
tidak berdaya, kehilangan vitalitas,
kurang menggerakkan penganutnya
untuk aktif membebaskan diri dari perbuatan jelek, termasuk korupsi.
Sanksi agama
umumnya lebih bersifat
moral. Ada
doktrin, seorang pembunuh
bisa dimaafkan Tuhan
bila benar-benar bertobat (kembali kepada kebaikan). Namun,
sanksi manusia tetap harus dilaksanakan, baik yang bersifat moral maupun hukum.
Meski penekanan pada sanksi ternyata menjadi
salah satu sebab
kegagalan penanggulangan korupsi,
sanksi moral tetap efektif dalam usaha antikorupsi. Misalnya, di
lingkungan kerja perlu dibudayakan sanksi
moral: bahwa siapa saja yang kedapatan menyuap atau menerima suap harus
dikucilkan.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Dalam penyusunan karya ilmiah ini
penulis merumuskan beberapa masalah yaitu :
- Bagaimana pandangan agama tentang korupsi sehingga
dapat berperan positif dalam
upaya pemberantasan budaya
korupsi?
- Bagaimana model pembelajaran pendidikan anti korupsi ( PAK ) dilingkungan pendidikan terhadap pemberantasan korupsi?
1.3 TUJUAN
MASALAH
Selain merumuskan beberapa masalah penulis memiliki tujuan dalam
penulisan karya ilmiah ini yaitu sebagai berikut :
- Dapat mengobyektifikasi agama dengan baik
sehingga dapat berperan positif
terhadap upaya pemberantasan budaya
korupsi.
- Mengetahui model pembelajaran pendidikan anti korupsi
( PAK ) di lingkungan pendidikan terhadap pemberantasan korupsi dalam
pemberantasan korupsi.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1
Permasalahan Korupsi
Dampak korupsi tidak hanya
bersifat ekonomis dan politik seperti high cost
economy dan kerugian
negara, tetapi juga bersifat moral dan budaya, yang
menyebabkan bangsa ini
sulit keluar dari
krisis multidimensi.
Korupsi terkait dengan
nilai dan moralitas,
agama-agama memiliki hubungan dengan
korupsi, karena agama-agama
selalu bicara dimensi moral-spiritual. Namun, tidak
jelas keterkaitan korupsi
dan keberagamaan. Begitu banyak
orang yang dianggap alim dan saleh justru berbuat korupsi.
Rajin sembahyang tidak berkorelasi positif dengan bersih dari
korupsi.
Padahal, agama juga sulit
terpisahkan dari budaya
masyarakat tertentu. Klaim bahwa agama itu serba melingkup justru sering
membawa penafsiran agama yang sempit dan
pemaksaan penafsiran yang
jarang menyelesaikan masalah
itu sendiri. Keberagamaan sering
justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri yang harus diatasi. Namun, kita
juga tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak mampu mendorong antikorupsi. Agama itu sendiri
berbeda dengan keberagamaan (religiosity). Kesalehan individual belum
tentu membawa kesalehan
sosial dan profesional. Agama-agama tidak
membenarkan kebejatan,
ketidakjujuran, dan segala bentuk
amoralitas sosial. Agama-agama mengajarkan moral mulia, budaya malu, kukuh
dalam kebaikan, gaya
hidup sederhana, etos kerja tinggi, serta
orientasi pada kemajuan
dan prestasi. Agama-agama bertujuan
memperbaiki moralitas manusia.
Penafsiran agama yang
harfiah, teks-tual, dan kaku
seperti doktrin takdir bahwa Tuhan
menentukan segalanya dan manusia
cuma nrimo apa adanya, membawa keberagamaan
yang pasif dan tidak liberatif.
Agama sebatas bersifat formal, padahal
pada saat yang sama pembusukan moral sedang terjadi.
Menurut Nur Kholis dalam artikelnya “ korupsi dan akibatnya: analisis
perspektif ekonomi islam” jelaslah bahwa
korupsi membawa efek negatif yang sangat membahayakan bagi masyarakat,
individu, perkembangan politik, birokrasi, dan perkembangan generasi muda .Sebagai
spirit untuk memberantas korupsi, perlu diingat firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan)
satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam
diri (sikap mental) mereka”. (Q.S. 13: 11).
2.2 Hiphotesa
Penulis memiliki hipotesa
alternative ( ha ) yaitu adanya pengaruh peran agama melalui pendidikan anti
korupsi ( PAK ) di lingkungan pendidikan dalam pemberantasan korupsi.
2.3. Pengertian Korupsi
Korupsi secara etimologis berasal dari bahasa Latin, corruptio, dari kata kerja corrumpere,
yang berarti: busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak
bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu
corruption; dan Belanda yaitu corruptie,
koruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia menjadi
korupsi.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari kata korup yang
berarti busuk, palsu, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran.
Dalam bahasa Arab, istilah korupsi baru bisa diketemukan dalam kamus-kamus
modern seperti Hans Wehr, al-Mawrid, dan Al-Munawwir. Padanan kata korupsi
diambil dari kata risywah, yang dimaknai uang suap, penyuapan dan
korupsi, penyuapan (bribery), korupsi (corruption), dan
ketidakjujuran (dishonesty).
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah
pakai dan salah
urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber
kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya
dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penulisan
karya ilimiah ini penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.
kajian pustaka,
yaitu melakukan
analisispermasalahan dengan buku, dan artikel di Internet terkait dengan
permasalahan dan materi yang dibahas.
2.
Wawancara
Wawancara,
digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan, minat, dan persepsi kepala sekolah,
guru, dan siswa terhadap model
pendidikan antikorupsi, identifikasi tentang budaya sekolah yang diperkirakan
dapat mendukung pelaksanaan PAK di sekolah.
2. Koesioner
Digunakan sebagai bahan untuk identifikasi awal akan pemahaman awal kepala sekolah dan
guru tentang PAK.
Teknik analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis
data dari hasil wawancara, yang dimaksudkan untuk mencari bentuk utama
(mainstream) propotipa pendidikan antikorupsi baik yang menyangkut materi,
metodologi, media, dan sumber belajar, maupun teknik evaluasinya. Data tentang
pemahaman awal kepala sekolah dan guru tentang pendidikan antikorupsi
dianalisis secara deskripstif kuantitaif dengan persentase.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Pandangan Agama tentang Korupsi
Menjaga
Amanah sebagai Benteng Anti Korupsi. Sebelum membahas hadis-hadis yang spesifik
tentang korupsi, akan lebih baik jika dikaji lebih dahulu hadis-hadis tentang
pentingnya menjaga amanah.
4.1.1 Menjaga Amanah
Semua
tindakan korupsi dimulai dari penyalahgunaan amanah (abuse of trust), yang
menjalar menjadi penyalahgunaan kekuasaan/wewenang (abuse of power), baik dalam
urusan individu maupun publik. Amanah, diyakini sebagai benteng anti korupsi
yang Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 Kontekstualisasi Hadis-Hadis Anti
Korupsi Oleh Fakrur Rozi sangat kuat. Jika benteng amanah telah rusak, maka
yang lain pun aka sangat kuat. Jika benteng amanah telah rusak, maka yang lain
pun akan rusak.
Rasulullah
saw. bersabda tentang pentingnya jujur dan menjaga amanah: Sulaiman Abu Rabi’
telah menceritakan hadis kepada kami, Ismail ibnu Ja’far telah menceritakan
hadis kepada kami, Nafi’ ibnu Malik ibnu
Abi Amir , yaitu Abu Suhail, telah menceritakan hadis kepada kami dari bapaknya
dari Abi Hurairah dari Nabi . bersabda: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga:
jika berbicara berbohong, jika berjanji ingkar , jika dipercaya berkhianat”.
(HR. Bukhari).
Hadis
ini sangat tegas dan lugas, bahwa kejujuran, keterbukaan, dan tanggungjawab
adalah tanda-tanda pokok keimanan yang harus dipelihara. Tanpa ketiga hal
tersebut, walaupun telah banyak beribadah ritual, seseorang layak disebut
munafik. Betapa banyak orang berjanji ketika kampanye politik, bersumpah ketika
hendak memangku sebuah jabatan, berpidato berapi-api dalam sambutan pelantikan,
tetapi semuanya hanya tinggal janji, sumpah palsu dan omong-kosong. Kursi
kekuasaan seringkali membuat orang lupa pada janji dan sumpah jabatan yang disaksikan
orang banyak serta disaksikan Allah. Harta berlimpah seringkali membutakan mata,
menulikan telinga, dan menumpulkan akal budi, sehingga kepercayaan publik yang
dibangun sejak lama pun dikorbankan.
Terkait
dengan tema kajian ini, tindak korupsi sangat bertentangan dengan prinsip
amanah dan kejujuran yang diajarkan dalam agama. Lebih jelas lagi, Rasulullah
saw. berpesan tentang akibat pelanggaran atau penyalahgunaan amanah, yaitu
sebuah kerusakan total sistem kehidupan masyarakat. Pernyataan Rasulullah saw.
ini terbukti, ketika banyak ernyataan Rasulullah saw. ini terbukti, ketika
banyak pejabat pemegang amanah menyeleweng, semua sistem sosial kemasyarakatan
lambat laun menjadi rusak. Dari Abu Hirairah ra., ia berkata bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “Jika amanah disia-siakan,
maka tunggulah kehancuran. Kemudian dinyatakan: “bagaimana maksud amanah
disia-siakan itu? Rasul menjawab: “Jika suatu perkara (amanat/ pekerjaan)
diserahkan pada orang yang tidak ahli (profesional), maka tunggulah
saat
kehancuran.” (HR. Bukhari).
Dari
hadis diatas, hubungan antara amanah dan keahlian sangatlah erat. Jika keduanya
hilang, maka kehancuran akan mengancam. Dan salah satu faktor yang dapat
merusak amanah dan profesio Dan salah satu faktor yang dapat merusak amanah dan
profesionalitas adalah suap. Seseorang sebelum menjabat, tantangan berlaku
jujur mungkin tidak berat. Berbeda halnya, ketika ia sudah menjabat suatu
urusan, tawaran suap datang dari kanan dan kiri. Di sini amanah sang pejabat diuji.
Dalam
hadis lain, Rasulullah saw. menegaskan hubungan iman dengan amanah dan kaitan
ketat agama dengan pemenuhan janji. “Tidak beriman (tidak sempurna iman) orang
yang tidak menjaga amanah dan tidak beragama (tidak sempurna agama) seseorang
yang tidak menepati janjinya.”(HR. Ahmad).
Amanah
sangatlah dijunjung tinggi dalam Islam. Iman, amanah, dan aman berasal dari
asal kata yang sama, yaitu a-m-n (Amuna, ya’munu,amnan, amanatan atau dengan
mengikuti wazan/struktur kata af
’alamenjadi amanah, yu’minu, imanan).
Hadis
di atas menjelaskan bahwa iman harus dibuktikan dengan sikap amanah dalam
berinteraksi sosial. Tanpa sikap amanah, iman menjadi rusak sehingga rasa aman
menjadihilang. Jelasnya, jika kecurangan dan korupsi di semua lini, iman dan amanah
sudah tidak ada, maka kemanan menjadi problem yang sulit dikendalikan.
Akhirnya, kejahatan merajalela dan hukum pun tidak berdaya, karena jika amanah
telah tiada, maka hukum dan keadilan bisa diperjual belikan. Selanjutnya,
rusaklah tata kehidupan masyarakat dan sendi sendi bangsa dan negara.
4.1.2
Hadis-hadis tentang Korupsi
Dalam
kitab-kitab hadis, beberapa istilah yang sering diidentikkan atau memiliki kedekatan arti dengan korupsi
antara lain: Ghulul dan risywah.
- Ghulul: bentuk
korupsi yang sangat popular Ghulul merupakan istilah yang paling banyak
digunakan oleh Rasulullah saw. dalam hadis-hadisnya terkait dengan perilaku
korupsi atau penggelapan harta publik. Ghulul adalah isim masdar dari kata
ghalla ya ghullu ghallan wa ghullun. Artinya, Akhdzu al-syai wa dassabu fi
mata’hi” (mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya). Ibnu Hajar
al-Asqalani mendefinisikan ghullul dengan “ ma yu’khazu min al ghanimati
khafiyyatan qabla qismatika (apa saja yang diambil dari barang rampasan perang
secara sembunyi-sembunyi sebelum pembagian). Ada juga pendapat yang hampir sama bahwa
ghulul dimaknai “akhdzu al syai
wa dassahu fi
mata’ibi” (pengkhianatan dalam hal harta rampasan perang).
Semula
ghulul merupakan istilah khusus bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum
dibagikan secara transparan.
Definisi
di atas menunjukkan bahwa ghulul terjadi pada penggelapanharta rampasan perang.
Hal ini sejalan dengan makna Q.S Ali Imran: dan sejumlah hadis tentang ghulul.
Kendati demikian, melihat beberapa hadis lainnya, ghulul juga terjadi pada
kasus pegawai/pejabat yang mengambil sesuatu di luar haknya yang diatur secara
resmi. Pejabat yang menerima hadiah dari pihak tertentu terkait dengan
tugasnya, dan orang yang mengambil tanah orang lain yang bukan haknya. Dengan melihat
unsur-unsur yang melingkupinya, cakupan makna ghulul bisa diperluas,
dikembangkan hingga ke istilah korupsi dalam berbagai bentuknya yang kini
semakin canggih modus operandi-nya dan menjadi duri dalam kehidupan masyarakat.
Hadis-hadis
tentang ghulul berikut dinilai mewakili kajian tematik tentang korupsi. Hadis
pertama terdapat dalam shahih Bukhari, kitab al-Jihad wa al-sair , nomor 2845: Ali
ibn Abdillah telah menceritakan hadis kepada kami. Sufyan telah menceritakan kepada
kami. Dari Amr , dari Salim ibn Abi Al-Ja’di, dari Abdullah ibn Umar berkata:
bahwa pada rombongan Rasulullah saw. .. Ada
seorang bernama Kirkirah yang mati di medan
perang. Rasulullah saw. bersabda: “dia masuk neraka”. Para
sahabat pun bergegas pergi menyelidiki perbekalan perangnya. Mereka mendapatkan
mantel yang ia korup dari harta rampasan perang. (H.R Bukhari).
Banyak
sekali kasus korupsi atau suap yang menimpa pejabat public Indonesia mulai dari kasus-kasus
kecil hingga kasus besar. Beberapa tindakan berikut dapat dikategorikan sebagai
ghulul, misalnya: pejabat/ pegawai yang menggunakan fasilitas negara/publik
untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, pejabat pengadaan barang yang
me-mark up (menggelembungkan) biaya pembelian dari yang seharusnya, pegawai parkir
yang tidak menyerahkan seluruh pendapatan parkir kepada yang berwenang, petugas
pajak yang kongkalikong dengan wajib
pajak dan mengajari bagaimana memperkecil tagihan pajak sembari menerima “hadiah”
dari wajib pajak tersebut, pejabat yang tidak mengembalika mengembalikan sarana
dinas (kendaraan, rumah dan lain-lain) setelah tidak menjabat lagi. Bahkan,
sering kali diberitakan seorang pejabat/pegawai ketika masih Bahkan, sering
kali diberitakan seorang pejabat/pegawai ketika masih menjabat dikenal bersih,
ternyata setelah berakhir masa tugas, diketahui telah menggelapkan kekayaan
negara atau publik.
4.2 Pendidikan
dan Transformasi Budaya
Sekolah
adalah institusi sosial yang didirikan oleh masyarakat untuk melaksanakan tugas-tugas pendidikan kepada
generasi muda. Dalam konteks ini pendidikan dimaknai sebagai proses untuk memanusiakan manusia untuk menuju
kepada kemanusiaannya yang berupa pendewasaan diri. Dengan demikian pendidikan
adalah proses pembudayaan (Hassan,
2004). Melalui pendidikan disemaikan
pola pikir, nilai-nilai, dan norma-norma masyarakat dan selanjutnya
ditransformasikan dari generasi ke generasi untuk menjamin keberlangsungan
hidup sebuah masyarakat.
Dalam
konteks sekolah sebagai lembaga yang melaksanakan transformasi nilai-nilai
budaya masyarakat, terdapat tiga pandangan untuk menyoal hubungan antara
sekolah dengan masyarakat, yakni
perenialisme, esensialisme dan progresivisme. Pandangan perenialisme, sekolah bertugas
untuk mentrans-formasikan seluruh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kepada setiap peserta didik,
agar peserta didik tidak kehilangan jati diri dan konteks sosialnya. Esensialisme melihat tugas
sekolah adalah menyeleksi nilai-nilai sosial yang pantas dan berguna untuk
ditransformasikan pada peserta didik
sebagai persiapan bagi perannya di masa depan.
Peran sekolah yang lebih maju ada pada
progresivisme yang menempatkan sekolah sebagai agen perubahan (agent of
change) yang tugasnya adalah mengenalkan nilai-nilai baru kepada peserta didik
yang akan mengantarkan peran mereka di masa depan.
Terdapat
sejumlah nilai budaya yang dapat ditransformasikan sekolah kepada diri setiap
peserta didik agar mereka dapat berperan secara aktif dalam era global yang
bercirikan persaingan yang sangat ketat (high competitiveness), yakni: (1)
nilai produktif, (2) nilai berorientasi pada keunggulan (par excellence), dan
(3) kejujuran (Hoy dan Kottnap, 1991).
Nilai yang berorientasi pada keunggulan
adalah identik dengan motivasi berprestasi seseorang. Sebagaimana dinyatakan oleh Mc.Clelland (1962) motivasi berprestasi (need
of achievement) merupakan virus mental yang ada pada diri seseorang yang ingin
mengerjakan sesuatu yang sungguh-sungguh
melalui serangkaian kerja keras. Selain
itu dapat pula ditambah dengan bentuk-bentuk motivasi lain seperti: motivasi
berprestasi merupakan bentuk motivasi yang secara langsung berkorelasi dengan
kemajuan ekonomi sebuah bangsa.
Moral
kejujuran adalah moral universal, moral yang dijunjung tinggi oleh
bangsa-bangsa modern dan beradab.
Bangunan masyarakat yang sehat
adalah yang didasarkan atas nilai-nilai kejujuran. Kejujuran pada gilirannya akan menumbuhkan
kepercayaan (trust), dan kepercayaan merupakan salah satu unsur modal sosial.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Mahbubani (2005) masyarakat yang memiliki modal social yang
kuat akan lebih mudah melakukan transformasi perubahan, baik itu perubahan
social maupun perubahan budaya.
Untuk
itu tugas pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada setiap
komponen di dalamnya, baik itu siswa, staff guru maupun komponen lainnya.
Pendidikan anti-korupsi adalah pendidikan yang berkaitan dengan cara-cara untuk
menanamkan kejujuran pada diri peserta didik melalui serangkaian cara dan
strategi yang bersifat edukatif (Deal dan Peterson, 1999).
4.3. Pendidikan Antikorupsi
Dalam
jangka panjang (long term) keberhasilan praktek penaggulangan dan pemberantasan
korupsi tidak hanya bergantung pada aspek penegakan hukum (law enforcement)
belaka, namun juga ditentukan oleh aspek pendidikan yakni pendidikan
anti-korupsi. Pendidikan anti
korupsi merupakan fenomena global. Dikatakan demikian karena sebagian besar
negara di dunia mulai dari benua Eropa, Amerika, Asia, Australia , dan bahkan Afrika
sudah melaksanakan praktek pendidikan
anti-korupsi. Penelusuran melalui
jaringan internet menunjukkan praktek pendidikan anti-korupsi sudah
dilaksanakan di negara bekas komunis di kawasan Eropa Timur seperti Polandia,
dan Hungaria. Tidak ketinggalan pula
negara-negara di Afrika seperti Nigeria
juga sudah mempraktekkan pendidikan anti-korupsi.
Di
Indonesia istilah pendidikan anti-korupsi relatif baru karena belum banyak yang
mengenalnya. Dalam Undang-Undang No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pada bagian kurikulum
nasional mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi, secara eksplisit istilah pendidikan anti korupsi tidak
disebutkan. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi dapat dipandang sebagai
inovasi pendidikan. Hal ini sesuai
dengan dinamika masyarakat, dari masyarakat yang otoritarian dengan ciri
ketertutupan menuju masyarakat demokratis yang menjunjung tinggi keterbukaan
dan kejujuran.
Dengan
demikian bangunan masyarakat Indonesia
masa depan yang bercorak demokratis hendaknya tidak dapat dipisahkan dengan
mata pelajaran pendidikan anti korupsi.
Justru mata pelajaran pendidikan anti-korupsi akan gayut dengan upaya
pembentukan tatanan masyarakat yang demokratis yang salah satu cirinya adalah
mengutamakan kejujuran.
Menurut
Dharma (2003) secara umum tujuan pendidikan
anti-korupsi adalah (1) pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai
bentuk korupsi dan aspek-aspeknya; (2) pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3)
pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang dituduhkan untuk melawan
korupsi. Manfaat jangka panjangnya barangkali menyumbang pada keberlangsungan
Sistem Integrasi Nasional dan program
antikorupsi. Dalam jangka pendek adalah pembangunan kemauan politik
bangsa Indonesia
untuk memerangi korupsi (Kesuma, 2004). Dalam pandangan Harmanto dan Suyanto
(2005) materi pendidikan anti korupsi di sekolah antara lain adalah: (1) apa
dan di mana korupsi itu (2) isu moral, (3) korupsi dan hak asasi manusia, (4)
memerangi korupsi, (5) korupsi dan ekonomi pasar, (6) korupsi dan hukum, (7)
korupsi dan masyarakat demokrasi. Pendidikan antikorupsi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah program pendidikan antikorupsi yang rencananya akan (1)
jika memungkinkan disisipkan pada mata
pelajaran yang sudah ada di sekolah
dalam bentuk perluasan tema yang sudah ada dalam kurikulum dengan menggunakan
pendekatan anti-korupsi. Pilihan ini digunakan dengan pertimbangan agar tidak
menambah beban kurikulum dan jam belajar siswa.
Namun dapat juga diimplementasikan dalam bentuk (2) mata pelajaran untuk
kegiatan ekstra kurikuler siswa.
4.4. Model Pendidikan Antikorupsi
Belajar
dari pengalaman negara lain untuk melakukan pemberantasan korupsi ternyata tidak
cukup hanya dengan penegakan hukum, namun harus diikuti oleh pendidikan anti
korupsi. Salah satu contoh
dilaksanakannya pendidikan antikorupsi adalah yang dilaksanakan di negara
Republik Rakyat China (RRC). Melalui China
on line (Jawa Pos, 30/7/2005) diketahui bahwa seluruh siswa di jenjang pendidikan dasar diberikan mata
pelajaran pendidikan anti korupsi.
Tujuannya adalah untuk memberikan “vaksin” kapada pelajar dari bahaya
korupsi. Adapun harapan jangka
panjangnya adalah generasi muda China
bisa melindungi diri di tengah gempuran pengaruh kejahatan korupsi.
Keterlibatan pendidikan formal dalam kasus pemberantasan korupsi sebenarnya
bukan hal baru, justru memiliki kedudukan strategis. Sejalan dengan pandangan progresivisme,
sekolah adalah agen perubahan sosial yang bertugas mengenalkan nilai-nilai baru
kepada masyarakat (Pol, dkk, 2005).
Untuk
berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan korupsi ada dua hal yang dapat
dilakukan oleh sekolah. Pertama, proses
pendidikan harus menumbuhkan kepedulian tulus, membangun penalaran obyektif, dan mengembangkan perspektif
universal pada individu. Kedua,
pendidikan harus mengarah pada penyemaian strategis, yaitu kualitas pribadi individu yang konsekuen dan kokoh dalam
keterlibatan politiknya. Integritas
mensyaratkan bukan hanya kedewasaan dan kemauan, tetapi keberanian
individu dalam mempertahankan kejujuran
dan kesederhanaan sebagai prinsip dasar keterlibatan politik (Suwignyo, 2005).
Pendidikan
anti korupsi secara umum dikatakan sebagai pendidikan koreksi budaya yang
bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir dan nilai-nilai baru kepada peserta
didik (Dharma, 2004). Dalam pendidikan
anti korupsi harus mengintegrasikan tiga domain, yakni domain pengetahuan
(kognitif), sikap dan perilaku (afeksi), dan ketrampilan (psikomotorik). Implementasi pendidikan anti korupsi di jenjang sekolah bisa menggunakan
strategi inklusif, eksklusif maupun studi kasus. Untuk jenjang pendidikan dasar
dengan mempertimbangkan kematangan berfikir siswa dan padatnya jam pelajaran
maka dapat digunakan strategi inklusif, yang ditempuh dengan cara menyisipkan
pendidikan antikorupsi ke dalam sejumlah mata pelajaran yang sudah ada. Untuk jenjang pendidikan menengah dapat
digunakan pendekatan eksklusif yang menyajikan pendidikan antikorupsi sebagai
sebuah mata pelajaran namun tidak bersifat kurikuler atau dalam kurikulum
muatan lokal (institusional). Namun
demikian implementasi pendidikan antikorupsi di sekolah tidak akan efektif jika
tidak disertai dengan law enforcement
atau penegakan hukum.
Segala
pelanggaran dalam praktek pendidikan antikorupsi hendaknya diberikan sanksi
yang tegas. Perilaku menyontek saat
ujian dan penjiplakan terhadap karya
orang lain misalnya adalah dua contoh pelanggaran yang dimaksud. Realitas
menunjukkan bahwa perilaku menyontek oleh beberapa kalangan peserta didik
diberi makna baru, yakni sebagai cara dan strategi untuk meringankan beban
biaya orang tua. Karena melalui
menyontek peserta didik akan memperoleh nilai bagus dan cepat lulus
sekolah. Sebagai ilustrasi dari
penanaman sikap anti \korupsi dapat dilihat dari pemberian sanksi kepada
mahasiswa College of Education
National University Singapura .
Sebagaimana
dituturkan oleh Budi Darma di perguruan tinggi tersebut mahasiswa yang ketahuan menyontek akan
memperoleh sanksi (1) dikeluarkan dari universitas, (2) tidak akan diterima di seluruh universitas di Singapura,
(3) tidak boleh menjadi guru dan pegawai negeri, serta (4) didenda 40 ribu
dolar singapura. Karenanya, implementasi pendidikan anti \korupsi di sekolah
agar efektif dalam misinya sebagai pendidikan koreksi budaya perlu
memperhatikan hal-hal berikut: (1) Pada tingkat materi ajarnya perlu mencakup
tiga domain yakni kognitif, afektif, dan psikomotor, (2) Pada aspek metodologi
pengajaran guru dapat menggunakan berbagai metode dan model pengajaran
yang sesuai dengan permasalahan dan kematangan siswa. Namun prinsipnya adalah
melibatkan siswa secara aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran.
Penggunaan multi media juga dianjurkan untuk membuat pembelajaran menjadi
semakin menarik, (3) Pada tingkat sumber belajar perlu digunakan berbagai
sumber seperti sumber bahan cetakan (Koran) maupun elektronik (televisi) maupun internet, sumber orang dan lingkungan. Sumber orang dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat yang berperan sebagai
penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, dan KPK, (4) Untuk evaluasi kinerja siswa dapat mempergunakan
bentuk asesmen dan evaluasi autentik yang tidak hanya mengukur aspek verbal
dan kognitif siswa, namun juga mengukur karakter, ketrampilan,
kewaspadaan dan cara berfikirnya dalam mengatasi masalah. Implementasi
pendidikan antikorupsi perlu disertai dengan
law enforcement namun tetap dalam konteks edukatif serta sebagai media
untuk menumbuhkan motivasi belajar. (Suyanto dan Harmanto, 2005).
4.5. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran
Menurut
Johnson (2002:24 dalam Nurhadi, dkk. 2004:14) ada delapan komponen utama dalam
sistem pembelajaran kontekstual, yakni: (1) Melakukan hubungan yang bermakna.
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam
mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau
bekerja dalam kelompok, (2) Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan,
seperti mengharuskan siswa untuk membuat hubungan-hubungan antara sekolah
dengan berbagai konteks nyata, (3)
Menjadi pebelajar mandiri (self regulated learner), siswa melakukan pekerjaan
yang signifikan:ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya
dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya nyata, (4)
Bekerja sama – siswa dapat bekerja sama.
Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana
mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi, (5) Berpikir Kritis dan
Kreatif – Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara
kritis dan kreatif:dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah,
membuat keputusan dan menggunakan logika dan bukti-bukti, (6)
Mengasuh atau memelihara pribadi siswa – Siswa memelihara
pribadinya:
mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi
dan memperkuat diri sendiri, (7) Mencapai standar yang tinggi – Siswa mengenal
dan mencapai standar yang tinggi;mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa
untuk mencapainya, (8) Menggunakan penilaian autentik – Siswa menggunakan
pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang
bermakna.
BAB V
PENUTUP
5.1.Kesimpulan
Pada
dasarnya setiap orang sadar akan sisi negative dari korupsi itu sendiri dan mereka
mengetahui hokum dan aturan tentang korupsi tetapi mereka juga tanpa sadar
sering kali melakukan korupsi baik dari hal terkecil sampai yang terbesar. Selain
itu mereka mengetahui bahwa peran agama sangat penting dalam pemberantasan
korupsi sesuai dengan salah satu hadist yaitu :
Dari
Amr , dari Salim ibn Abi Al-Ja’di, dari Abdullah ibn Umar berkata: bahwa pada
rombongan Rasulullah saw. .. Ada seorang bernama
Kirkirah yang mati di medan
perang. Rasulullah saw. bersabda: “dia masuk neraka”. Para
sahabat pun bergegas pergi menyelidiki perbekalan perangnya. Mereka mendapatkan
mantel yang ia korup dari harta rampasan perang. (H.R Bukhari).
Kalangan
berpendidikan tidak menjamin bersih dari korupsi tetapi dengan paradigma bahwa
lingkungan pendidikan adalah lingkungan yang bisa merubah seseorang dari yang tidak
baik menjadi baik sehingga Pendidikan Anti Korupsi memiliki peluang besar dimana di lembaga pendidikan terjadinya
transformasi budaya.
Dalam
jangka panjang (long term) keberhasilan praktek penaggulangan dan pemberantasan
korupsi tidak hanya bergantung pada aspek penegakan hukum (law enforcement)
belaka, namun juga ditentukan oleh aspek pendidikan yakni pendidikan
anti-korupsi.
Di
Indonesia istilah pendidikan anti-korupsi relatif baru karena belum banyak yang
mengenalnya. Dalam Undang-Undang No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pada bagian kurikulum
nasional mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi, secara eksplisit istilah pendidikan anti korupsi tidak
disebutkan. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi dapat dipandang sebagai
inovasi pendidikan. Hal ini sesuai
dengan dinamika masyarakat, dari masyarakat yang otoritarian dengan ciri
ketertutupan menuju masyarakat demokratis yang menjunjung tinggi keterbukaan
dan kejujuran.
Dan
model dari pendidikan anti korupsi harus mengintegrasikan tiga domain, yakni
domain pengetahuan (kognitif), sikap dan perilaku (afeksi), dan ketrampilan
(psikomotorik). Implementasi pendidikan
anti korupsi di jenjang sekolah bisa
menggunakan strategi inklusif, eksklusif maupun studi kasus.
5.2 Saran
Kurikulum pendidikan
anti korupsi ( PAK ) yang telah diuraikan di atas harus kembali ditegalakkan
disetiap lembaga pendidikan karena masalah korupsi adalah masalah yang sangat
signifikan dimana lembaga pendidikan adalah tempat berkumpulnya agen of change.
DAFTAR
PUSTAKA
Azyumardi Azra,
“Agama dan Pemberantasan Korupsi”
dalam Pramono
U.
Tanthowi, dkk. (Ed.), Membasmi Kanker Korups, Jakarta : PSAP,2005
A.W. Munawir,
Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap,
Krapyak:PP
al-Munawwir, 1984
Al-Munawi,
Muhammad Abdu al-Ra’uf, al-Tauqif ‘ala Muhimmaati al-Ta’rif,
Andi Hamzah,
Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional,
Jakarta :
Rajawali, 2006
Azyumardi Azra,
Kompas, 5 September 2003.
Bukhari, Shahih
al-Bukhari: Kitab al-Iman, Beirud: Dar al-Fikr, 1420 H/
2000
M, jilid I
Deal, T.E., and
Peterson, K. D. 1999. Shaping School Culture.
San
Fransisco:Jossey-Bass
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum
Bahasa
Indoneisia,
Jakarta : Balai
Pustaka, 1995.
Dharma, Budi.
2004. Korupsi dan Budaya. dalam Kompas, 25/10/2003
Hans Wehr, A
Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut :
Libraire du
Liban,
1980, cet. Ke-3
Harmanto
dan Suyanto, Totok. 2005. Peningkatan Perolehan Belajar Mahasiswa
Melalui Rekonstruksi Matakuliah Dasar dan Konsep Pendidikan Moral dengan
Pendekatan Kontekstual.
Hassan, Fuad.2004. Pendidikan adalah pembudayaan:dalam Pendidikan Manusia Indonesia .
Kartono,
Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Jakarta .
Edisi Baru. CV. Rajawali Press.
Kesuma, D.
2004. Pendidikan Antikorupsi dalam Sistem Pendidikan Nasional
Nasional
Pendidikan Indonesia V di Surabaya 5-9 Oktober 2004.
KPK, Mengenali
dan Memberantas Korupsi Jakarta: KPK, 2006, h.
12.385
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Kompas. Surat Kabar Harian. Jakarta . Bulan Oktober
sampai Desember 1989.
Kontekstualisasi
Hadis-Hadis Anti Korupsi Oleh Fakrur Rozi
Measuring Organizational Climate. Newbury Park , CA :Sage
Jawa
Pos. 30/7/2005. Mata Pelajaran Antikorupsi di China.
Muslim, Shahih Muslim:
Kitab al-Iman, no. hadis 165.
Nurhadi, dkk.
2004. Pembelajaran Kontekstual. Malang :
UM Press. Topic “Anti-corruption education.Transparency and accountability in
Education”.
Pol, M.,
Hlouskova, L., Novotny, P., Vaclavikova, E., Zounek, Z.
2005.
School Culture as an object of research.
Tanpa penerbit.
Saleh, Wantjik.
1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia .
Jakarta .
Penerbit
Ghalia Indonesia .
Suwignyo,
Agus.2005. Pendidikan dan Pelibatan Politik.dalam Kompas, 30/5/2005
comment 0 komentar
more_vert